Opini Musri Nauli: Peradaban Bugis di Lahan Basah

Iklan

Iklan

Opini Musri Nauli: Peradaban Bugis di Lahan Basah

Jumat, 09 April 2021, April 09, 2021

 



(In Memoriam Syamsul Watir M)
Musri Nauli

Membaca artikel Syamsul Watir M yang berjudul “Petani Bugis, Ahli Persawahan Pasang Surut” dan “Petani dan Persawahan Pasang Surut” yang dimuat di Berita Buana, Senin, 26 April 1976 merupakan “harta karun” yang tercecer.

Menggunakan tema “persawahan pasang surut” adalah tema yang masih relevan dalam melihat peradaban Bugis di Jambi.

Istilah “pasang surut” mengingatkan istilah “rawa” merupakan istilah dalam catatan-catatan seperti dituliskan didalam buku “Diaspora Bugis, Identitas dan islam di Negeri Malaya, dalam “Diaspora Bugis di Alam Melayu Nusantara, Penerbit Ininmawa, Makassar, 2010.

Tome Pires didalam karya klasiknya “Suma Oriental” menerangkan pelayaran orang Bugis, Makassar dan Wajo Dari Sulawesi. Leonard Y. Andaya kemudian menyebutkan “perpindahan besar-besaran orang Bugis keluar kampungnya di Sulawesi Selatan dimulai pada paruh kedua abad ke – 7. Utamanya karena perang yang berujung pada labilnya keadaan politik”. Awalnya diwarnai para pengungsi yang meninggalkan kampungnya demi menyelamatkan diri. Kemudian menetap di Semenanjung Malaya dan pulau-pulau sekitarnya sekitar abad 17-18.

Cerita tentang Bugis kemudian dapat dilihat didalam “Tuhfat Al Nafis” yang mewakili Melayu-Bugis”. Dengan jernih dijelaskan oleh Barbaya W Andaya, dibawah Sultan Mansur dari Melaka pada pertengah abad 15, wilayah di Sumatera sebagai daratan kemudian digabungkan dengan Kepualuan Riau-Lingga.

Cerita tentang “perintis” Bugis tidak dapat dilepaskan dari lima saudara dari wilayah Bugis yang dikenal Lima Opu”. Sumpah setia dari Bugis kepada penguasa “terekam dalam Tuhfat Al nafis” dikenal “aruq” (Upacara pengucapan sumpah tradisional Bugis. Daeng Marewa (Kelana Jaya Putra) kemudian mengucapkan sumpah setia. Daeng Marewa kemudian dikenal sebagai Yang Dipertuan Muda (lafal Bugis menyebutkan YamTuan Muda). Kesetiaan dan tanda bakti “Aruq” sebagai bakti dan kesetiaan kepada penguasa.

Sedangkan menurut Hikayat Siak, Raja Kecik adalah pewaris sah dari tahta Johor. Belanda kemudian mematahkan wilayah kekuasaan Raja Haji tahun 1784 yang penguasaan di Riau. Kemudian menyingkirkan Raja Muda Ali. Mereka kemudian menyingkir ke Lingga, Mempawah menuju Sukadana.

Kembali menelusuri jejak Bugis di Pantai Timur Sumatera. Christian Pelras kemudian menyebutkan, pertemuan pengaruh awal Melayu dimulai dari Kerajaan Melayu.

Setelah kejatuhan Makassar oleh Belanda tahun 1666, bangsawan Bugis memimpin petualangan ke wilayah Barat seperti pantai timur Sumatera dan pesisir Kalimantan, Semenanjung Melayu, Riau, Jambi dan Bengkulu. Jejaknya masih bisa diikuti hingga kini.

Pembukaan pemukiman Bugis besar-besaran kemudian didukung oleh Penguasa Johor yang berfikir maju. Dan semakin maju ketika mendirikan Johor Baru tahun 1878.

Semakin banyaknya bermukim di Johor kemudian ketika Belanda menguasa seluruh Sulawesi Selatan tahun 1906. Selain itu kemudian menyebar dan menghuni daerah-daerah pantai timur Sumatera. Mereka kemudian mulai mengelola hutan bakau, Teknologi pertanian, arsitektur kayu, tenun, memasak, teknologi besi sebagai perbandingan budaya material dan menanam kelapa. Kopra kemudian sangat laku. Tahun 1929 dikenal sebagai tahun keemasan.

Mereka kemudian mengenal istilah “parit”. “Parit” kemudian sebagai tanda pemukiman. Atau sebagai “batas tanah”. Seperti ““mentaro”, “Prenggan”, “Pasak mati” atau “Patok mati” (hilir Jambi). Atau “takuk pohon”. “tuki”, “sak Sangkut”, “hilang celak. Jambu Kleko”. Atau Cacak Tanam. Jambu Kleko”. Ada juga menyebutkan “Lambas” (Uluan Jambi)

Di Desa Sungsang, dikenal “kepala parit”. Kepala Parit adalah “kelompok yang membuka areal. Berbagai Desa-Desa di Tanjabbar dan Tanjabtim kemudian mengenal istilah “parit”.

Namun di Desa Lumahan, Kepala parit sebagai Kepala Pemerintahan.

Di Desa Sungai Beras dikenal “Parit Alamsyah di buka Oleh Bapak Alamsyah, Parit Sungai Buluh Dibuka Oleh Bapak Ali Flores, Parit Sungai Budaya Dibuka Oleh Bapak Sa’ka, Parit Senang Dibuka Oleh Bapak Renggeng, Sungai Beras di buka Oleh Bapak Arbain, Parit Teluk Pagar di buka Oleh Bapak H. Kusnan, Parit Gudang di buka Oleh Bapak Ismail Ab, Sungai Bamban Dibuka Oleh Abdus Shomad, Sungai Beringin di buka Oleh Bapak Dahlan, Sungai Apuk di buka Oleh Induk Apuk, Parit Sinar Sulawesi di buka Oleh Bapak H. Saleh, Sungai Gudang di buka Oleh Bapak Asnawi, Parit Jawa timur di buka  Oleh Bapak Thayib, Sunga Papan di buka oleh Bapak Lauduk, Parit Selamat di buka oleh Ambo Tuo,Sungai Nibung di buka Oleh Bapak Gadur, Teluk Perancis Dibuka Oleh H. Kubek, Parit Antara Dibuka Oleh Bapak Zaini, Parit Harapan di buka Oleh Bapak Harpan, Parit Buta-Buta di buka Bapak Lacong.

Dalam perkembangannya, istilah “pasang surut” kemudian dikenal sebagai lahan basah. Peraturan perundang-undangan kemudian membagi pasang surut menjadi kawasan gambut berdasarkan PP No. 71 Tahun 2014 dan PP No. 57 Tahun 2016. Dan Rawa berdasarkan PP No. 73 Tahun 2013. Turunan dari UU No. 32 Tahun 2009. Rawa dan gambut disebutkan sebagai kawasan penting (kawasan esensial) bersama dengan Kars, Sauna.

Tema gambut kemudian menarik perhatian public sejak terjadi kebakaran massif sejak tahun 2006. Kejadian yang terus berulang dan menjadi horror tahun 2015. Dengan menghanguskan 2 juta hektar. Mengirimkan asap ke Singapura dan Malaysia. Indonesia kemudian menjadi geger.

Namun jejak di Jambi yang ditandai dengan istilah “parit” adalah jejak peradaban Bugis di Jambi. Teknologi yang dibawa ke Jambi hilir yang kemudian memperkaya pengelolaan Gambut di Jambi.

Dengan teknologi pertanian dilahan pasang surut mampu menghindarkan dari kebakaran massif tahun 2013 dan 2015.


Advokat. Tinggal di Jambi 


Dimuat di Harian Independent, 6 Oktober 2018.







TerPopuler